Oleh: Agus setiyono
Di ufuk timur Nusantara, dari sebuah kota kecil bernama Pare-Pare di Sulawesi Selatan, lahir seorang anak bangsa yang kelak menjadi salah satu mutiara pendidikan Indonesia. Namanya Prof. Erwin Akib, SP.d., M.Pd., Ph.D, sosok yang meniti tangga ilmu bukan dengan langkah tergesa, melainkan dengan ketekunan yang berakar pada nilai, iman, dan pengabdian.
Dari tanah yang sederhana, ia menggapai derajat ilmu yang tinggi. Dari ruang-ruang kelas yang sempit, ia menebarkan keluasan pengetahuan. Dan dari organisasi yang penuh makna perjuangan— Muhammadiyah—ia menemukan panggilan hidup: mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa.
Perjalanan akademiknya adalah narasi panjang tentang kesungguhan dan pengabdian. Sejak masa remaja, Erwin kecil telah menunjukkan rasa ingin tahu yang besar. Di setiap buku yang ia baca, tersimpan tekad untuk keluar dari batas-batas geografis kampung halaman dan menembus cakrawala ilmu pengetahuan.
Dari pelajar, mahasiswa, dosen, hingga akhirnya mencapai puncak karier akademik sebagai Guru Besar di Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh), perjalanan Erwin Akib adalah bukti bahwa ilmu bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi bentuk pengabdian sosial yang luhur.
Ia bukan hanya pendidik yang berhasil menjadi profesor, tetapi juga profesor yang tak pernah berhenti mendidik. Di tangan dan pikirannya, ilmu bukan sekadar teori, melainkan alat untuk membangun peradaban. Dalam dirinya, tersimpan kesadaran bahwa pendidikan sejati adalah proses memanusiakan manusia.
Sebagai Guru Besar, Prof. Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D. yang dikukuhkan pada Senin, 6 Oktober 2025, telah mengukir babak penting dalam perjalanan intelektualnya. Ia dianugerahi gelar Guru Besar dalam bidang Pendidikan Bahasa Inggris, sebuah disiplin yang menjadi jendela dunia bagi banyak generasi muda Indonesia.
Di bidang yang ditekuni itu, Prof. Erwin tidak hanya mengajarkan bahasa sebagai alat komunikasi, tetapi menanamkan makna bahwa bahasa adalah jembatan antarperadaban, sarana dialog kemanusiaan, dan pintu menuju pemahaman lintas budaya.
Ia meyakini bahwa penguasaan bahasa bukan hanya soal kemampuan berbicara, melainkan juga tentang kemampuan memahami, menghargai, dan membangun harmoni di tengah keberagaman dunia.
Dalam setiap kuliahnya, terselip nilai-nilai Islam berkemajuan yang menjadi ruh Muhammadiyah—bahwa ilmu harus membawa manfaat, pengetahuan harus berujung pada kebaikan, dan jabatan ilmiah tidak boleh menjauhkan diri dari kerendahan hati.
Filosofi hidupnya dalam bahasa bugis, sederhana namun mendalam:
“Alai cedde’e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang”. Artinya: “Ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan tolak yang banyak, apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan”
Ketekunannya dalam meneliti, mengajar, dan membimbing mahasiswa telah menjadikannya inspirasi bagi banyak kalangan akademisi. Bagi rekan sejawat, ia adalah simbol keteladanan intelektual. Bagi mahasiswa, ia adalah mata air inspirasi yang tak pernah kering.
Erwin Akib bukan hanya bagian dari sejarah Universitas Muhammadiyah Makassar, tetapi juga bagian dari perjalanan panjang pendidikan nasional. Dalam dirinya, kita menemukan makna sejati seorang pendidik: yang sabar menanam, meski tak selalu sempat memetik hasilnya.
Dari Pare-Pare ia berangkat, membawa cahaya pengetahuan; dan dari Makassar, ia memantulkan sinar itu ke seluruh penjuru negeri. Ia adalah bukti bahwa mutiara sejati tidak lahir di pusat kemegahan, melainkan dari kedalaman samudra perjuangan dan kesetiaan pada nilai.
Dan hari ini, ketika namanya dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Pendidikan Bahasa Inggris, sesungguhnya bukan sekadar pengakuan atas prestasi akademik, melainkan peneguhan atas jalan pengabdian. Karena dalam pandangan seorang guru sejati, gelar hanyalah tanda, sementara keberkahan ilmu adalah ruh yang hidup dalam setiap jiwa yang tercerahkan.
Jejak seorang guru tak pernah lenyap bersama waktu; ia mengendap dalam ingatan para murid, menjelma cahaya di hati, dan tumbuh menjadi amal jariyah yang abadi. Sebab sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
Maka dari Pare-Pare hingga ke podium pengukuhan di Unismuh Makassar, Prof. Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D., telah menapaki perjalanan panjang seorang pendidik yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga menebarkan keberkahan. Sebuah jejak abadi seorang guru, yang tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan makna kehidupan itu sendiri.
Penulis merupakan Pegiat Dakwah Online Jambi