Oleh: Nazli (Budak Dusun)
Gelombang tuduhan terhadap Pemerintah Kabupaten Batang Hari terkait pengadaan lahan tahun 2023 kembali menyeruak. Angkanya dibesar-besarkan, namanya diseret, dan bahasanya penuh umpatan.
Sekilas tampak seperti teriakan moral, namun setelah ditelusuri, isi tuduhan itu ternyata hanya rangkaian asumsi yang dipoles seolah-olah temuan.
Mari kita luruskan.
Pertama, penulis tudingan tersebut dengan enteng menyebut “kongkalingkong”, “permainan elit”, dan “kerugian negara 10 miliar lebih”. Masalahnya, tidak ada satu pun audit resmi, dokumen investigatif, atau laporan lembaga berwenang yang menyatakan demikian.
Kerugian negara bukan ditentukan oleh perasaan atau kemarahan, tetapi oleh BPK, APIP, atau aparat penegak hukum. Tanpa itu semua, klaim tersebut hanyalah gempita kata-kata tanpa dasar.
Kedua, tudingan bahwa harga lahan melonjak “300 persen dari pasaran” patut dipertanyakan kewarasannya.
Pengadaan tanah pemerintah wajib memakai appraisal independen (KJPP). Nilai appraisal inilah yang digunakan, bukan harga pasar ala persepsi pribadi. Jika ingin serius, seharusnya penuduh menyajikan: NJOP, laporan appraisal KJPP, perbandingan harga riil.
Faktanya, tidak satu pun data tersebut ditampilkan. Artinya, tudingan itu tidak lebih dari cerita karangan. Ketiga, pembelian lahan untuk Islamic Center, Puskesmas, fasilitas umum, ruang terbuka hijau, PDAM, sampai lahan olahraga dijadikan bahan serangan seolah-olah semua program publik adalah kejahatan. Inilah logika terbalik yang berbahaya.
Pembangunan fasilitas publik adalah kebutuhan daerah dan masyarakat, bukan proyek abal-abal seperti yang digambarkan. Menyamakan pembangunan infrastruktur pelayanan masyarakat dengan “permainan politik” jelas menunjukkan kebencian, bukan kecerdasan analisis.
Keempat, tudingan paling serius, bahwa lahan dibeli dulu oleh “orang dekat bupati” dilontarkan tanpa bukti satu lembar pun. Tidak ada sertifikat, tidak ada akta jual beli, tidak ada catatan transaksi. Tuduhan tanpa bukti bukan kritik, melainkan fitnah yang dibungkus keberanian palsu.
Kelima, maraknya penggunaan bahasa kasar dan emosional justru memperlihatkan bahwa narasi ini lahir dari kekesalan politik, bukan investigasi jurnalistik. Kritik dapat menjadi alat kontrol yang kuat, tetapi ketika berubah menjadi caci maki tanpa data, maka ia hanyalah propaganda murahan.
Dan seruan “KPK harus turun” justru semakin memperlihatkan kelemahannya. Jika bukti benar-benar ada, silakan lapor hari ini juga. Jangan hanya menggertak publik dengan kalimat-kalimat teatrikal, sementara substansi faktanya kosong.
Pada saat daerah bekerja membangun fasilitas publik, menerjemahkan visi pembangunan, dan memperbaiki pelayanan, kita justru disuguhkan serangan yang tidak mampu melampaui standar minimal data. Ruang publik tidak boleh dipenuhi oleh opini yang hanya mengandalkan keberanian menuduh tanpa keberanian membuktikan.
Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jernih, bukan opini yang dipelintir. Dan Batang Hari tidak boleh dijadikan korban dari narasi yang lebih mengutamakan sensasi ketimbang kebenaran.
Tajam bukan berarti sembarangan. Lugas bukan berarti asal tuduh. Opini yang baik adalah opini yang berdiri di atas fakta, bukan prasangka. **








