• REDAKSI
  • Pedoman Media Siber
Jumat, Mei 9, 2025
Aksipost.com
  • HOME
  • HEADLINE
  • HUKRIM
  • NASIONAL
  • ADVERTORIAL
  • DAERAH
  • DEMOKRASI
  • EKONOMI
  • MILENIAL
  • PENDIDIKAN
No Result
View All Result
  • HOME
  • HEADLINE
  • HUKRIM
  • NASIONAL
  • ADVERTORIAL
  • DAERAH
  • DEMOKRASI
  • EKONOMI
  • MILENIAL
  • PENDIDIKAN
No Result
View All Result
Aksipost.com
No Result
View All Result
Tamatan Luar Negeri Lebih Hebat?

Bahren Nurdin

Tamatan Luar Negeri Lebih Hebat?

1 Mei 2022
in MILENIAL

“Wow keren. Hebat ya, bisa kuliah di luar negeri.”

Berikut ini jawabannya.

Berita Lainnya

MENYIBAK MISTERI LINGKARAN SETAN INDUSTRI BBM

Sebuah Ironi Dalam Birokrasi: Keberhasilan Program Publik atau Resistensi Internal?

Peringatan Hari Buruh: Harapan & Suara yang Terpinggirkan

Saya awali dengan contoh kasus sebagai ilustrasi. Beberapa tahun lalu saya sempat berbeda pendapat dengan seorang professor (tamatan Barat) di kampus saya saat dia mengatakan bahwa tamatan Malaysia itu tidak dianggap alumni luar negeri dengan nada merendahkan.

Pernyataan itu disampaikan di forum akademik yang dihadiri oleh ratusan dosen. Beberapa alumni Malaysia kemudian meradang.

Sampai-sampai Perhimpunan Alumi Malaysia (PAM) Cabang Jambi harus turun tangan. Namun, demi kemaslahatan bersama, dilakukan komunikasi untuk mencari solusi. Dimaafkan walau tetap jadi catatan sejarah.

Persoalannya, mengapa saya tidak setuju dengan pernyataan itu? Bukan karena alumni Malaysia tidak dianggap, tapi ada kesan yang ingin disampaikan bahwa tamatan luar negeri itu hanya mereka yang alumni Barat. Masak iya?

Tidak hanya karena kejadian itu, sebenarnya sejak lama saya juga sudah concern terhadap persoalan ini. Saya agaknya beda pendapat jika ada yang mengatakan bahwa tamatan luar negeri lebih hebat, lebih bagus, lebih wow. Pandangan semacam ini menurut saya (anda boleh berbeda) agak terlalu menjeneralisir.

Faktanya, ada dosen yang tamatan luar negeri tapi biasa-biasa saja. Di sisi lain, ada yang tamat dalam negeri, kampus tidak terkenal, tapi kiprah dan kontribusinya luar biasa.

Jika begitu, mari kita diskusikan. Pertama, harus dicatat bahwa ijazah itu (S1, S2, dan S3) adalah selembar kertas bukti administrasi bahwa seseorang telah menyelasikan pendidikannya di level tertentu setelah melewati berbagai syarat akademis (diatur oleh undang-undang yang berlaku).

Sekali lagi, bukti administratif dengan alat ukur akademis. Bagi saya, ijazah itu baru berupa bahan mentah yang belum memberikan nilai apa pun.

Kedua, ijazah itu akan bernilai ketika dimanfaatkan untuk berkiprah dan berkontribusi. Dengan kata lain, ijazah itu hanyalah tiket untuk memberikan manfaat dirinya buat orang lain.

Jadi, nilainya sudah bergeser dari yang bersifat administratif menjadi kontributif. Pertanyaannya bukan lagi tamatan mana, tapi bisa berbuat apa. Bisa memberikan apa. Seberapa besar manfaat dirinya. Dan seterusnya.

Ketiga, kiprah dan kontribusi. Menurut saya inilah yang harus menjadi titik beratnya agar kita tidak terjebak pada dekotomi tamatan luar dan dalam negeri.

Kualitas kita (terutama dosen) tidak semata ditentukan oleh tamatan mana, tapi lebih kepada bisa berkontribusi apa.

Masing-masing kita harus terus berlomba-lomba memperbesar kontribusi untuk kemaslahatan ummat manusia di muka bumi ini sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat).

Keempat, mempersoalkan (apa lagi dengan melakukan stereotyping) tamatan dalam dan luar negeri yakinlah tidak akan mendatangkan manfaat, boleh jadi akan menimbulkan kemudharatan.

Persoalan kuliah di dalam dan di luar negeri itu hanyalah semata kesempatan yang Allah berikan (tanpa mengabaikan segala usaha dan perjuangan yang dilakukan).

Ada orang yang Allah izinkan menuntut ilmu di luar, ada pula yang menurut Allah di dalam negeri lebih baik baginya.

Akhirnya, yakinlah bahwa setiap jengkal permukaan bumi Allah ini adalah tempat terbaik untuk berbuat kebaikan termasuk dalam hal menuntut ilmu.

Jika begitu, di dalam dan di luar negeri itu sama saja selagi bisa berkontribusi dalam kebaikan dan tidak ada yang boleh merasa lebih (juga merasa rendah) dari yang lainnya.

Ukurannya cuma satu, seberapa besar kontribusinya dalam kebaikan. Semoga!

ShareTweetSend
Previous Post

Kenapa Palestina Tak Punya Tentara

Next Post

Gegara Pecat Anak Buah, Al Haris Digugat ke PTUN

Related Posts

Nasib Perumahan Legiun Veteran dan Pupuk Instan 

MENYIBAK MISTERI LINGKARAN SETAN INDUSTRI BBM

8 Mei 2025
Sebuah Ironi Dalam Birokrasi: Keberhasilan Program Publik atau Resistensi Internal?

Sebuah Ironi Dalam Birokrasi: Keberhasilan Program Publik atau Resistensi Internal?

5 Mei 2025
Peringatan Hari Buruh: Harapan & Suara yang Terpinggirkan

Peringatan Hari Buruh: Harapan & Suara yang Terpinggirkan

2 Mei 2025
Bakal Calon Ketua KONI Provinsi Jambi Setor Rp30 Juta

Bakal Calon Ketua KONI Provinsi Jambi Setor Rp30 Juta

13 April 2025
Forum Film Jambi Perkuat Konsolidasi dan Strategi Promosi Daerah

Forum Film Jambi Perkuat Konsolidasi dan Strategi Promosi Daerah

13 April 2025
BATANG HARI AIRNYA GARANG: Meluap Lagi, Tak Kenal Musim

BATANG HARI AIRNYA GARANG: Meluap Lagi, Tak Kenal Musim

13 Maret 2025
  • REDAKSI
  • Pedoman Media Siber

© 2024 PT Aksi Indah Pratiwi. All Rights Reserved. | Aksipost.com

No Result
View All Result
  • HOME
  • HEADLINE
  • HUKRIM
  • NASIONAL
  • ADVERTORIAL
  • DAERAH
  • DEMOKRASI
  • EKONOMI
  • MILENIAL
  • PENDIDIKAN

© 2024 PT Aksi Indah Pratiwi. All Rights Reserved. | Aksipost.com

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In