Oleh: Firmansyah. Lawyer, Pemerhati Hukum dan HAM
Gubernur Jambi kembali menjadi sorotan setelah menerbitkan Surat Edaran Nomor 4963/SE/BKD-5.3/VI/2025 yang memuat kewajiban bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Muslim untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid setiap hari Jumat.
Dalam surat edaran tersebut, tertulis jelas pada poin E angka 1 bahwa “yang beragama Islam wajib mengikuti sholat Subuh berjamaah pada setiap hari Jumat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Jambi pada masjid-masjid yang telah ditentukan.” Sekilas, kebijakan ini tampak religius.
Namun bila ditelaah lebih dalam, penggunaan kata “wajib” dalam konteks cara beribadah yang secara syariat tidak diwajibkan adalah bentuk pemaksaan yang keliru dan menyesatkan. Dalam ajaran Islam, hukum shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki adalah sunnah muakkadah, sangat dianjurkan, tetapi bukan kewajiban mutlak yang berdosa bila ditinggalkan.
Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh agama sama dengan menambah-nambahkan hukum Islam. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip keagamaan dan mencederai substansi ibadah itu sendiri, yang seharusnya lahir dari kesadaran dan keikhlasan kepada Allah, bukan karena tekanan struktural atau perintah birokrasi.
Selain problem substansi agama, secara hukum administrasi negara, Surat Edaran (SE) tidak memiliki kekuatan mengikat seperti undang-undang.
SE bersifat imbauan administratif dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mewajibkan ASN shalat di masjid tertentu, dan lebih jauh lagi menjadikan hal itu sebagai potensi penilaian kinerja, berpotensi melanggar prinsip kebebasan beragama dan otonomi individu dalam beribadah.
Gubernur memang memiliki kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan daerah, termasuk aspek kepegawaian. Namun dalam konteks keagamaan, kebijakan harus dibingkai dalam pendekatan edukatif dan persuasif, bukan koersif (memaksa).
ASN berhak memilih masjid mana yang ingin mereka kunjungi untuk beribadah, selama sesuai dengan syariat dan tidak mengganggu tugas kedinasan.
Lebih jauh, pendekatan pemaksaan juga mengabaikan aspek teknis dan keselamatan. Banyak ASN yang tinggal jauh dari masjid yang ditunjuk, belum memiliki kendaraan, atau harus menempuh jalan gelap saat Subuh yang bisa berisiko terhadap keselamatan. Belum lagi, setelahnya mereka tetap harus hadir di kantor seperti biasa.
Tentu saja, upaya memakmurkan masjid dan meningkatkan keimanan ASN adalah langkah mulia. Namun harus dilakukan secara bijak, dengan mengedepankan pemahaman, bukan pemaksaan. Negara tidak boleh mencampuri ruang-ruang spiritual yang bersifat personal, apalagi menjadikannya bagian dari target birokrasi.
Kita bisa menengok sejumlah daerah seperti Aceh atau Palembang yang pernah menerbitkan imbauan serupa. Namun perlu diingat, pendekatan kultural dan geografis tiap wilayah berbeda. Tidak semua yang diterapkan di satu daerah, otomatis relevan di daerah lain.
Akhirnya, marilah kita jaga niat ibadah agar tetap murni karena Allah semata, bukan karena aturan struktural. ASN Muslim shalat Subuh berjamaah di masjid bukan karena gubernur, tapi karena keikhlasan iman. Dan itu hanya bisa tumbuh dalam suasana yang bebas, tanpa tekanan atau paksaan.(***)