Oleh: Rahmat, Pengamat Olahraga Jambi, Ketua Cabor Indonesia Beladiri Campuran Amatir (IBCA MMA) Provinsi Jambi.
Langkah Gubernur Jambi, Al Haris, yang menyatakan siap maju dalam bursa calon Ketua Umum KONI Provinsi Jambi periode 2025–2029, telah mengejutkan banyak pihak.
Di tengah kisruh yang melanda proses pemilihan ketua KONI—yang ditandai dengan tarik ulur antar-kubu dan mandeknya verifikasi calon—kehadiran Al Haris dianggap sebagai “jalan tengah”. Namun, apakah benar ini solusi, atau justru menambah rumit?
Sebagai kepala daerah, Al Haris semestinya berdiri di tengah, menjadi penengah, bukan justru ikut bertarung di gelanggang yang tengah panas. Peran gubernur bukan untuk menambah kekuatan politik dalam organisasi olahraga, melainkan untuk menjadi jembatan yang mempertemukan kepentingan-kepentingan yang berseberangan, demi menjaga marwah pembinaan olahraga di Jambi.
Langkah Al Haris justru berpotensi menggerus ruang kaderisasi dan regenerasi tokoh-tokoh muda olahraga Jambi yang tengah tumbuh.
Ketika posisi ketua KONI kembali diisi oleh figur politis yang sudah mapan, peluang para pelaku olahraga murni—yang selama ini berjuang di lapangan—akan semakin tertutup. Padahal, organisasi seperti KONI membutuhkan energi segar, ide-ide inovatif, dan semangat pembaruan, bukan hanya legitimasi kekuasaan.
Lebih dari itu, publik tentu berharap seorang gubernur fokus menyelesaikan pekerjaan rumah yang jauh lebih mendesak. Mulai dari pembangunan Islamic Center yang masih menimbulkan tanda tanya besar, terbengkalainya proyek RTH Angso Duo, hingga polemik jalan khusus batu bara yang menyedot perhatian masyarakat.
Deretan persoalan itu menanti kepemimpinan yang penuh dedikasi dan fokus, bukan tambahan ambisi di luar tupoksi utama.
Dalam konteks ini, Al Haris seharusnya menjadi contoh yang menyejukkan. Dalam hangatnya suhu politik pemilihan Ketum KONI Jambi, sosok gubernur mestinya memberi arah, bukan justru mengaburkan batas antara kepentingan pribadi, jabatan, dan publik. Jika semua ikut jadi pemain, siapa lagi yang akan menjadi wasit?
Mengutip adagium lama: “Seorang pemimpin besar tahu kapan harus maju, dan tahu kapan harus mundur untuk membiarkan orang lain tumbuh.” Kini, pilihan itu ada di tangan Al Haris. Maju sebagai solusi atau justru menambah masalah?