Jambi – Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP 30) berlangsung di Belem, Brazil, dimulai dari tanggal 10 dan puncaknya pada tanggal 21 November 2025.
Eksekutif Daerah WALHI Jambi bersama dengan anggota lembaga dan komunitas menyuarakan peringatan keras mengenai transisi energi yang diklaim tengah berjalan di Indonesia, namun masih menyisakan ketidakadilan ekologis, sosial, dan gender yang nyata di tingkat tapak. COP 30 digadang-gadang sebagai momentum peninjauan komitmen global terhadap penghentian emisi dan percepatan transisi energi bersih.
Namun bagi rakyat di Provinsi Jambi, terutama kelompok rentan seperti perempuan, petani, masyarakat adat, dan nelayan, krisis iklim berlangsung setiap hari di sekitar ruang hidup mereka. Kerusakan lingkungan, pencemaran udara, dan perampasan ruang hidup terus terjadi sementara suara rakyat justru terpinggirkan dari jauh dari meja perundingan.
Di Jambi, perempuan adalah kelompok yang paling merasakan dampak dari krisis iklim dan ekspansi proyek energi kotor. Mulai dari keterbatasan air bersih, pencemaran udara akibat PLTU, hingga perampasan ruang hidup, perempuan memikul beban domestik dan sosial yang berlipat. Mereka harus memastikan kenyamanan keluarga terpenuhi di tengah kondisi lingkungan yang semakin rusak.
Namun, perempuan bukan hanya korban. Mereka adalah penjaga pengetahuan lokal, penggerak ketangguhan komunitas, dan penghadang ekspansi yang merusak ruang hidup. Karena itu, bagi WALHI Jambi, suara perempuan, Petani, dan Masyarakat adat harus ditempatkan sebagai poros utama dalam mendorong transisi energi berkeadilan.
Di tengah klaim transisi energi, Provinsi Jambi justru terus dibebani dan dipaksakan untuk proyek energi kotor, antara lain:
1. Desa Aur Kenali dan Mendalo Darat – terdampak pembangunan dan operasi stockpile batu bara di tengah permukiman padat, memicu debu batubara dan mengancam kesehatan dan penurunan kualitas lingkungan hidup rakyat.
2. Desa Kemingking Dalam (Muaro Jambi) – kawasan stockpile berdiri di dekat Cagar Budaya Nasional Candi Muaro Jambi, situs bersejarah terluas di Asia Tenggara, mengancam keberlangsungan ekologis dan nilai budaya masyarakat.
3. Desa Semaran (Sarolangun) – berada di lingkar dampak PLTU yang menimbulkan pencemaran udara dan berbagai gangguan kesehatan bagi rakyat.
Oscar Anugrah, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi berpandangan bahwa Realitas yang terjadi saat ini memperlihatkan bahwa komitmen iklim Indonesia masih jauh dari memutus ketergantungan pada energi kotor. Kebijakan yang dikeluarkan justru membuka jalan bagi ekspansi industri ekstraktif yang merugikan, khususnya rakyat di Provinsi Jambi.
“Transisi energi berkeadilan hanya dapat diwujudkan apabila negara kembali ke rakyat dan mendengar suara perempuan. mereka yang setiap hari berhadapan dengan ketidakpastian iklim dan ancaman energi kotor. COP 30 bukan hanya ruang untuk diplomasi, tetapi harus menjadi titik balik untuk memastikan dan mengawal terwujudnya keadilan ekologis, keadilan gender, dan masa depan ruang hidup rakyat Jambi,” katanya
Aksi kampanye ini dilakukan bersama dengan komunitas yang wilayahnya terdampak energi kotor di Jambi untuk memperkuat solidaritas, mengangkat testimoni perempuan, dan menegaskan kembali bahwa jalan keluar dari krisis iklim bukan berada di ruang diplomasi saja, tetapi berangkat dari suara dan pengalaman rakyat di tapak.
Dalam momentum COP 30 ini, WALHI Jambi mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk:
1. Menghentikan sumber utama emisi dan menghentikan perluasan proyek energi kotor berbasis batu bara.
2. Mengakhiri ketergantungan pada industri ekstraktif yang merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat.
3. Memastikan kebijakan transisi energi berkeadilan dengan menempatkan perempuan dan kelompok rentan sebagai subjek utama keputusan.
4. Memulihkan wilayah-wilayah yang telah terdampak krisis iklim dan pencemaran industri sektor energi. **








