Jambi, AP – Asisten Ombudsman RI Perwakilan Jambi, Abdul Rokhim menyatakan pihaknya menemukan adanya pungutan liar (Pungli) dalam pengurusan sertifikat rumah bersubsidi di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.
“Pungli masih terjadi seperti dalam pemecahan sertifikat perumahaan bersubsidi. Di mana biaya satu sertifikat sesuai SOPnya paling besar Rp300 ribu. Namun, di lapangan masih ditemukan pengurusan sertifikat perumahan bersubsidi oleh developer dan masyarakat dikenakan biaya Rp1,75 juta hingg Rp2 juta,” katanya di Jambi, Senin, (27/8).
Hal tersebut terungkap saat Diseminasi Hasil Kajian Sistemik Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Jambi tentang pelayanan pemecahan sertifikat tanah pada perumahan bersubsidi yang digelar di salah satu hotel di Jambi.
Abdul mengatakan, perumahan subsidi di Jambi banyak sekali, dan banyak pengaduaan developer/pengembang tentang pungutan tersebut.
“Bayangkan jika setiap pemecahan sertifikat rumah subsidi atau perumahan lainnya dikenakan biaya Rp1,7 – Rp2 juta, berapa banyak perumahan di wilayah Jambi ini,” katanya.
Abdul mengatakan temuan Pungli itu setelah Ombudsman Jambi melakukan teknik intelijen, di mana secara diam – diam petugas Ombudsman menyamar untuk mendapatkan pelayanan dari kantot ATR/BPN-Kantah Kota Jambi, Muarojambi dan Bungo.
Selain Pungli, penundaan berlarut dalam penerbitan sertifkat juga masih ditemukan. Di mana penerbitan sertifikat pemecahan rumah subsidi bisa terselesaikan selama 15 hari, tetapi yang terjadi mencapai 1-12 bulan.
Selain itu, pegawai BPN juga banyak yang tidak kompeten menjelaskan biaya dan SOP pengurusan sertifikat dan pelayanan mereka.
“Itu semua kami temukan saat dilakukan teknik intelijen di Jambi dengan sampling yakni Kota Jambi, Kabupaten Muarojambi dan Bungo. Tiga daerah itu yang paling banyak bangunan perumahannya,” katanya.
Tidak hanya itu, menurut Ombudsman juru ukur di setiap kantor BPN di Jambi masih kurang. Di mana idealnya satu kantor memiliki 20 juru ukur.
Sedangkan, di Kota Jambi dan Bungo hanya 10 orang, sedangkan Muarojambi 16 orang sehingga pelayanan menjadi kurang maksimal dan membuat berlarut.
“Secara nasional BPN berada diposisi tiga pengaduan terbanyak. Pertama pemerintah daerah kedua kepolisian dan ketiga BPN,” katanya.
Sebab itu dari hasil Diseminasi Hasil Kajian Sistemik Ombudsman itu, telah disepakati untuk membentuk kelompok Kerja (Pokja) yang beranggotakan berbagai pihak terkait dalam melakukan pengawasan penerbitan sertifikat rumah.
BPN juga diminta untuk mengubah SOP pengurusan sertifikat yang diterapkan. Kemudian diseminasi Ombudsman akan disarankan ke Kementerian agar bisa menjadi pertimbangan untuk mengubah pelayanan mereka tersebut.
Sementara itu, Kasubdit Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian ATR/BPN, Endriyanto yang hadir dalam kesempatan tersebut mengatakan jika ditemukan kinerja BPN tidak sesuai SOP perlu diteliti seperti apa kejadiannya sebenarnya.
“Bisa saja kendalanya persyaratan pemohon kurang, SDM kantornya terbatas dan lainnya. Saya setuju dibentuk Pokja di Jambi untuk mengawasi dan memantau langsung pelayanan di BPN.” kata Endriyanto.
Terkait biaya pengurusan sertifikat, katanya, sudah diatur dan biaya yang dikeluarkan pemohon juga dilihat dari persoalannya di lapangan. Untuk juru ukur pun ditanggung pemohon.
Sementara terkait terbatasnya juru ukur di setiap kantor BPN di Jambi khususnya, Endriyanto mengatakan juru ukur memang profesi spesial dan tidak semua orang bisa menjalani itu tanpa pendidikan secara khusus. Sehingga rekrutmen sulit dilakukan. ant