Oleh: Nazli (Humas DPD Gerindra Jambi)
Tidak berlebihan jika hari ini publik melihat PAN Jambi bukan lagi sebagai partai, melainkan alat perebut kekuasaan yang rakus dan tak tahu malu. Apa yang dilakukan PAN belakangan ini bukan sekadar manuver politik, itu adalah perampokan struktur, pencaplokan tokoh, dan pembajakan legitimasi pejabat tanpa sopan santun politik.
Dua kejadian terbaru adalah buktinya:
1. Para kepala daerah didorong jadi Ketua DPD PAN se-Jambi, seolah PAN buta bahwa partai itu seharusnya dipimpin kader, bukan pejabat yang ditarik paksa.
2. Penunjukan sepihak Dillah Hich sebagai Ketua DPD PAN Tanjabtim, meski ia sendiri terang-terangan menolak, bahkan mengaku tidak pernah memberikan persetujuan apa pun. Jika ini bukan politik serobot, apa namanya?
PAN Jambi kini terlihat seperti pedagang yang kehabisan stok dagangan, lalu memilih mencatut milik orang lain. Alih-alih membangun kader, mendidik tokoh, dan memperkuat basis partai, yang dilakukan PAN justru mengambil jalan pintas:
Seakan-akan seluruh bupati dan wali kota di Jambi adalah “aset bebas” yang bisa ditarik seenaknya. Seakan-akan pejabat publik itu milik PAN. Padahal pejabat itu dipilih rakyat, bukan dipinjamkan untuk kepentingan partai tertentu.
Langkah ini tidak menunjukkan kekuatan PAN. Ini menunjukkan keputusasaan PAN. Partai yang kuat mencetak kader. Partai yang lemah merebut pejabat untuk menutupi kelemahannya.
Skandal paling memalukan tentu terjadi di Tanjabtim. DPP PAN dengan percaya diri mengumumkan Dillah sebagai Ketua DPD PAN. Masalahnya?
Dillah tidak pernah setuju. Tidak pernah menyatakan akan masuk PAN. Bahkan secara terbuka menolak.
Pernyataan Dillah sangat jelas:
• “Saya tetap bersama Pak Prabowo.”
• “Saya tidak pernah menyatakan masuk PAN.”
• “Nama saya dicantumkan tanpa persetujuan saya.”
Tetapi apa reaksi PAN?
Biasa saja. Tak ada klarifikasi. Tak ada permintaan maaf. Tak ada upaya meluruskan. Seolah-olah PAN berhak memungut nama siapa pun demi kepentingannya.
Inilah yang disebut publik:partai yang semakin agresif tapi kehilangan rasa malu.
Tidak ada partai yang sehat berani mencatut nama seseorang tanpa persetujuan. Ini bukan manuver politik, ini pelecehan politik dan itu dilakukan secara terang-terangan.
Jika seorang bupati saja bisa “dipakai namanya” tanpa persetujuan, bayangkan bagaimana nasib kader-kader kecil yang bertahun-tahun berjuang dalam partai. Mungkin hanya dianggap “figuran” yang bisa dibuang kapan saja.
Kalau PAN berpikir mereka sedang mendirikan kerajaan politik yang kuat, mereka keliru besar, yang sedang PAN bangun justru:
• Kemarahan koalisi lama.
Gerindra, NasDem, PDIP pasti tidak tinggal diam melihat “partai lain” mencaplok bupati yang mereka usung.
• Kekecewaan kader internal.
Apa gunanya bertahun-tahun menjadi kader kalau kursi ketua malah jatuh ke pejabat yang bahkan tidak mau masuk PAN?
• Kekacauan internal yang menunggu meledak.
Mengambil orang yang tidak loyal jelas menunggu waktu sebelum konflik meledak. PAN mungkin merasa sedang menjadi raksasa politik Jambi. Padahal yang mereka bangun hanyalah raksasa berkaki kapas, besar di luar, rapuh di dalam.
Politik itu memang keras.Tapi keras tidak harus serampangan. Tegas tidak harus memaksa. Ambisius tidak harus mencatut nama orang seenaknya. Kasus Dillah Hich sudah menjadi noda besar.
Jika PAN tidak berhenti bermain model politik serobot-serobot seperti ini, publik akan mengingat satu hal: PAN bukan sedang menguat tapi PAN sedang mempermalukan dirinya sendiri. **








