Jambi – Kasus Amrizal gemparkan Jambi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi itu menjadi tersangka oleh Polda Sumatera Barat. Sebagai wakil rakyat, Amrizal seharusnya contoh bagi masyarakat dalam mematuhi hukum dan menjunjung tinggi etika.
Pertanyaan utama kemudian muncul dari kasus ini, bukan hanya tindak pidana secara umum, melainkan juga potensi kerugian finansial negara.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, syarat pendidikan minimal untuk menjadi anggota DPRD adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya.
Sedangkan Amrizal ditetapkan tersangka atas dugaan tindak pidana menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam surat keterangan kehilangan ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) N 1 Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Amrizal memasukkan dua identitas nomor milik orang lain. Pertama, nomor Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) 0728387 yang sebenarnya milik LETDA Endres Chan, lahir di Lubuk Aur pada 17 Agustus 1974. Kedua, nomor induk atau BP 431 milik teman seangkatan Endres yang juga bernama Amrizal, lahir di Kapujan pada 12 April 1974.
Itu dilakukan Amrizal agar dapat memperoleh ijazah paket C di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Albaraqah di Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Asal tahu saja, terhitung sejak Desember 2025, Amrizal menjabat sebagai anggota lembaga legislatif selama 11 tahun 3 bulan. Sebanyak 10 tahun di DPRD Kerinci pada periode 2014-2019 dan 2019-2024, serta 14 bulan sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi sejak dilantik pada 9 September 2025.
Dibalik manipulasi ijazah SMP, Amrizal juga meraih gelar Sarjana 1 (S1) di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Nusantara Sakti (STIA-Nusa) pada tahun 2022 dengan gelar Sarjana Administrasi Pemerintahan (SAP).
Gelar Amrizal patut dipertanyakan mengingat latar belakang pendidikan SMP-nya yang menggunakan identitas orang lain.
Secara hukum, jika ijazah paket C maupun gelar S1 menjadi dasar kualifikasi Amrizal akan tetapi melalui cara tidak sah karena pendidikan SMP-nya menggunakan identitas orang lain, maka kualifikasinya sebagai anggota legislatif juga menjadi tidak sah.
Artinya, di sini uang negara sudah dikeluarkan untuk tunjangan, gaji, dan fasilitas Amrizal selama bertahun-tahun.
Sekarang nasi telah menjadi bubur, Amrizal harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ia dijerat dengan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjanjikan ancaman kurungan penjara selama tujuh tahun.
Tak hanya surat kehilangan ijazah SMP yang palsu, Amrizal diketahui mendapatkan surat kehilangan dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) 11 Kapujan yang dikeluarkan pada bulan dan tahun yang sama.
Kasus Amrizal menjadi contoh penting tentang betapa lemahnya sistem verifikasi kualifikasi calon anggota legislatif.
Andai saja proses pengecekan dilakukan dengan lebih ketat sejak awal dan petugas penyelenggaraan pemilu turun langsung ke lapangan, kemungkinan Amrizal tak akan pernah bisa terdaftar sebagai calon, apalagi terpilih dan menjabat selama bertahun-tahun.
Sampai berita ini dimuat, Amrizal dikonfirmasi belum memberikan jawaban.
(Deni)








