Jakarta, AP – Program dalam rangka menguranti ketimpangan di sektor kehutanan dalam penerapannya harus sepenuhnya prorakyat atau memihak masyarakat dan bukannya perusahaan, kata Greenpeace Indonesia.
“Capaian pemberian izin program Perhutanan Sosial di tahun 2018 masih lebih kecil dibandingkan dengan rencana pelepasan hutan dari area hutan produksi konversi untuk dua tahun ke depan,” kata Pemimpin Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, dalam siaran pers, Rabu (11/04).
Menurut Arie, program yang dimiliki pemerintah masih belum menyentuh persoalan ketimpangan struktur agraria, pemberian kontrol serta hak atas tanah terhadap masyarakat luas.
Ia mengingatkan bahwa realisasi skema Perhutanan Sosial sampai Maret ini hanya seluas 1.500.669 hektar. Namun di tahun ini juga ada kawasan hutan produksi konversi seluas 1.630.421 hektar dan 1.754.222 hektar di 2019, yang sebagian besar dialokasikan untuk perkebunan.
“Jika mencermati angka pelepasan lahan, program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) ini lebih mengutamakan kepentingan pembangunan perkebunan skala besar ketimbang keberpihakan terhadap petani gurem atau petani yang tak memiliki tanah dan masyarakat adat,” tutur Arie.
Terkait rencana pelepasan lahan hutan untuk perkebunan, Greenpeace mengingatkan pemerintah bahwa hal ini rentan mendorong deforestasi karena transparansi di sektor kehutanan sangat rendah.
Sebelumnya, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menekankan pentingnya pengelolaan sektor kehutanan nasional untuk mengutamakan kelestarian dan jangan berujung eksploitasi.
“Keberlangsungan atau kelestarian hutan sangat memengaruhi kehidupan manusia, terutama mereka yang tinggal di sekitarnya. Pemanfaatan hutan harus tetap mengutamakan unsur kelestarian adalah fokus yang harus dicapai,” kata peneliti CIPS Imelda Freddy di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, Indonesia saat ini masih dihadapkan pada berbagai permasalahan terkait pengelolaan hutan, namun diakui berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengatasi masalah pengelolaan hutan yang tidak tepat dan tidak memikirkan keberlangsungan lingkungan, salah satunya adalah skema perhutanan sosial.
Imelda menyatakan bahwa upaya pemerintah dengan skema perhutanan sosial sudah merupakan langkah yang tepat.
“Masyarakat pada dasarnya memiliki berbagai motif dalam hal pengelolan hutan. Ada yang berdasarkan motif ekonomi dan ini diatur dalam Skema Kemitraan Kehutanan di mana adanya kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, yang pemanfaatannya adalah untuk mendapatkan hasil hutan untuk industri,” jelas Imelda.
Skema yang belakangan ini terus dilakukan pemerintah adalah skema Hutan Adat yaitu dengan membagikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat adat atau masyarakat setempat yang sudah lama tinggal di sekitar hutan dan memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupannya.
Dengan adanya hak pengelolaan, masyarakat diharapkan bisa memaksimalkan potensi hutan tanpa melupakan usaha untuk menjaga kelestariannya, serta pemerintah dinilai sudah berusaha melindungi dan memberi rasa aman kepada masyarakat adat sehingga perlu diapresiasi.
Namun, Rencana pemerintah pusat yang akan membagikan hak pengelolaan atas hutan seluas 12, 7 juta hektar masih menemui kendala. Dari target seluas 12,7 juta hektar, pemerintah baru bisa merealisasikan 1,34 juta hektar hingga Desember 2017.
Untuk itu, ujar dia, Pemerintah daerah harus mendukung implementasi program ini supaya target tersebut bisa tercapai.
Pemerintah berencana untuk memberikan konsesi terhadap 12,7 juta hektar lahan kepada 33.000 desa sebagai bagian dari Skema Perhutanan Sosial. ant