Jakarta, AP – Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono mengakui bahwa lembaganya meminta keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) ditinjau ulang.
Itu disebabkan karena dalam pelaksanaan wewenang dan tugas konstitusionalnya, MK tidak mencerminkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang mengawal penegakan hukum dan konstitusi.
“Yang membuat pernyataan tersebut bukan hanya DPD RI, melainkan DPR RI dan MPR RI juga membuat. Ini baru pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan sebuah keputusan lembaga peradilan direspons tiga lembaga,” kata Nono di kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu, (31/10).
Hal itu dikatakan Nono mengonfirmasi terkait dengan beredarnya surat DPD RI yang ditandatanganinya pada tanggal 21 September 2018 yang meminta keberadaan MK ditinjau kembali.
Nono menjelaskan bahwa permintaan peninjauan kembali MK itu bukan serta-merta meminta lembaga tersebut dibubarkan, melainkan sistem di dalamnya harus diperbaiki.
“Hakim MK bukan malaikat dan bukan dewa, contohnya Ketua MK ada yang pernah terkena masalah di KPK. Kewenangan yang dimiliki MK seperti malaikat namun di dalamnya ada orang per orang,” ujarnya.
Setelah keluarnya Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 terkait dengan aturan mengenai larangan anggota DPD rangkap jabatan, pihaknya mengadakan pertemuan dan kesimpulannya putusan tersebut harus direspons.
Nono sempat terkejut karena MPR dan DPR juga melakukan hal yang sama, yaitu mengirimkan surat dengan isi yang tidak jauh berbeda dengan surat DPD.
“Tiga lembaga yang ada di Senayan membuat respons terhadap sebuah keputusan pengadilan, berarti ada sesuatu dan ada pertimbangan tertentu sehingga ketiga lembaga membuat respons. MPR RI ditandatangani Zulkifli Hasan dan DPR ditandatangani Sekjen DPR mewakili pimpinan DPR,” katanya.
Surat tersebut, kata dia, telah dikirimkan ke semua lembaga negara, termasuk KPK.
Sebelumnya, beredar surat DPD RI nomor HM.02.00/601/DPDRI/IX/2018 yang ditandatangani Nono Sampono tertanggal 21 September 2018.
Dalam surat itu disebutkan DPD RI sangat prihatin dengan terbitnya Keputusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018 yang secara nyata menghilangkan hak-hak politik dan konstitusional warga negara, khususnya calon anggota DPD RI pada Pemilu 2019 yang berasal dari pengurus partai politik.
DPD menilai putusan MK itu telah melanggar ketentuan Pasal 281 UUD 1945, salah satunya hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
DPD menilai putusan MK itu telah memerintahkan dan menjadi dasar terbitnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 tahun 2018 adalah inkonstitusional karena bertentangan dan UUD 1945.
Oleh karena itu, DPD menyatakan sikap politiknya untuk segera meninjau kembali keberadaan MK yang dalam pelaksanaan wewenang dan tugas konstitusionalnya, MK tidak mencerminkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang mengawal penegakan hukum dan konstitusi. ant