Oleh: Jamhuri-Direktur Eksekutive LSM Sembilan.
Merujuk pada ketentuan sebagaimana Pasal 108 juncto Pasal 109 Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara tidak seharusnya persoalan Jambi City Centre menjadi polemik hukum yang menyita perhatian publik, khususnya warga Kota Jambi.
Sepertinya terdapat persoalan krusial yang mendasari penandatanganan kesepakatan perikatan kerjasama Nomor: 10/HKU/2014 dan Nomor: BPI/LGL/-BOTJAMBI/009/VIII/2014 antara Pemerintah Kota Jambi dengan pihak PT. Bliss Properti Indonesia yang lantas dilanjutkan dengan kembali menandatangani perjanjian kerjasama para pihak dimaksud dengan Nomor: 510/424/BPM-PPT/2014, dan Nomor: BPI/LGL/-BOTJAMBI/010/IX/2014.
Dugaan sebagaimana diatas terlahir dengan ditemukannya fakta pendukung yang membuat lahirnya pemikiran bahwa kerjasama tersebut telah menodai beberapa azaz hukum perikatan dengan diantaranya perbuatan menodai Azaz Itikad Baik (Good Faith), yang dilakukan dengan cara mengabaikan dan/atau merekayasa fakta hukum yang digunakan pada saat melakukan atau mengikuti proses pelelangan sebagaimana ketentuan Pasal 108 juncto Pasal 109 Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud.
Terlepas daripada penggunaan azaz Pictie Hukum dan tidak lagi hanya sebatas membicarakan tentang syarat syah sebuah perjanjian atau perikatan sebagaimana norma ataupun azaz hukum perdata akan tetapi tentang kenyataan yang ada menyangkut tentang hasil sebuah angan-angan yang menjadi sulit untuk dibedakan antara kepentingan keinginan atau keinginan kepentingan.
Di mana berdasarkan informasi yang didapat dari sumber yang layak dipercaya dapat diketahui bahwa kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan Barang Milik Daerah Kota Jambi tersebut telah dilengkapi dengan Surat Persetujuan Menjaminkan Hak Guna Bangunan oleh Walikota Jambi pada beberapa tahun yang lalu tepatnya pada 2016.
Dengan merujuk pada azaz hubungan sebab akibat (causalitas) diperkirakan surat persetujuan dimaksud menjadi penyebab utama bagi pembuktian dugaan adanya kesengajaan melakukan perbuatan melawan hukum ataupun yang bertentangan dengan ketentuan menyangkut tentang azaz dan tujuan serta tanggungjawab penanam modal sebagaimana yang telah diatur dengan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pengabaian terhadap suatu azaz yang menghendaki agar para pihak yang melakukan sesuatu perikatan harus bertindak dengan itikad baik, artinya jujur, tidak menyembunyikan informasi, dan/atau tidak melakukan rekayasa atau tindakan yang merugikan pihak lain dalam proses pembuatan dan pelaksanaan perjanjian.
Tindakan pengabaian terhadap amanat konstitusional yang baik secara de jure maupun de facto telah menggusur pengertian kata investor yang secara normative berarti seseorang atau entitas (seperti perusahaan ataupun lembaga) yang menanamkan modal (uang atau aset) dalam suatu investasi dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa depan. Secara sederhananya dapat diartikan Investor tidak lagi membutuhkan Agunan untuk dibebani dengan hak tanggungan.
Pengertian yang bertujuan memuliakan manusia dan memanusiakan kemuliaan yang dilakukan melalui kemampuan finansial menggantikan pemerintah pada periode ataupun jangka waktu tertentu menjalankan tugas pokok dan fungsi pemerintahan dalam mencapai tujuan negara.
Secara yuridis Hak Guna Bangunan (HGB) dapat dijadikan agunan sebagaimana yang telah diatur dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juncto Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. HGB yang dijadikan agunan lazimnya diberikan Sertifikat Hak Tanggunan.
Lebih lanjut amanat konstitusional pada Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut mengatur tentang mekanisme atau tata cara pendaftaran hak tanggungan atas HGB dimaksud yang secara systematis sebagaimana yang telah diatur dengan ketentuan Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang yang dimaksud.
Dalam konteks persoalan penanganan perkara dimaksud mungkinkah Jambi City Centre (JCC) akan melahirkan barisan korban kebijakan atas sebuah keinginan kepentingan serta sejauh mana surat persetujuan Walikota tersebut dapat dibenarkan ketika dilihat dengan menggunakan perspektive Undang-Undang Hak Tanggungan dimaksud terutama pasal-pasal yang mengatur tentang mekanisme pemberian hak tanggungan.
Atau justru sebaliknya malah merupakan suatu petunjuk awal yang dapat digunakan dalam melakukan tindakan pembuktian terhadap dugaan kejahatan perbankan (Pembobolan Bank) yang dilakukan dengan cara mengabaikan prinsip kehati-hatian bank sebagaimana yang telah diatur dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Mengingat waktu diberikannya persetujuan tersebut sebagai tolak ukur atas pembebanan hak tanggungan HGB dimaksud akan tetapi pada kenyataannya perjanjian kerjasama para pihak yang dimaksud masih sebatas menghadirkan istana hantu ditengah keramaian kota, tentunya melahirkan asumsi Barang Milik Negara/Daerah tersebut telah berpindah hak secara illegal dan sebesar-besar hasilnya untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain atau suatu korporasi.
Penerapan kaidah atau norma maupun azaz hukum pembuktian agar dalam pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) beserta keuangan negara tidak terjadi tindakan penyalahgunaan wewenang dan jabatan atau suatu pencegahan agar penyelenggara atau pejabat negara maupun daerah tetap mengingat akan postulat yang menetapkan bahwa kekuasaan diberikan untuk kebaikan dan bukan untuk disalahgunakan (potentia non est nisi ad bonum) dan serta kekuasaan seharusnya mengikuti keadilan, bukan sebaliknya (sequi debet potential justitiam, non praecedere).
Di sini berlaku postulat inde datae leges ne fortiori omnia posset yang berarti hukum dibuat untuk membatasi kekuasaan para penguasa. Dimana setiap tindakan penyelenggara ataupun pejabat negara harus berpijak pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak terkecuali dengan pelaksanaan menjadikan Hak Guna Bangunan (HGB) dibebani dengan Hak Tanggungan pada suatu perjanjian kerjasama Bangun Guna Serah atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Build Operate Transfer (BOT) .