Oleh: Nazli
Pemerintah Provinsi Jambi baru-baru ini menggulirkan wacana megaproyek senilai Rp4 triliun untuk membangun jalan khusus angkutan batu bara. Wacana ini dipoles dengan narasi manis: mengurangi kemacetan, meningkatkan penerimaan daerah, hingga membuka ruang partisipasi swasta. Namun di balik retorika “pembangunan,” ada pertanyaan mendasar yang wajib dijawab: untuk siapa jalan ini dibangun, dan siapa yang menanggung ongkosnya?
Jalan Oligarki, Bukan Jalan Publik
Mari kita jujur. Jalan khusus ini bukan untuk rakyat. Bukan untuk petani yang butuh akses ke sawah. Bukan untuk nelayan yang membawa hasil tangkapan. Bukan pula untuk pelajar yang menempuh pendidikan di pelosok. Jalan ini dibangun eksklusif untuk truk-truk pengangkut batu bara yang setiap hari memadati jalur lintas, menimbulkan kemacetan, debu, kecelakaan, dan kerusakan infrastruktur.
Dengan kata lain, jalan Rp4 triliun ini hanyalah tol emas bagi oligarki tambang. Rakyat? Tetap jadi penonton, tetap menghirup debu, tetap menanggung dampak ekologis dan kesehatan.
Hitung-Hitungan Ekonomi: Manfaat Semu
Argumen yang selalu didengungkan pemerintah adalah soal peningkatan Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba. Benar, DBH bisa menambah kas daerah. Tapi mari bedah lebih kritis.
Pada 2024, DBH Minerba untuk Jambi hanya sekitar Rp3,2 triliun. Dengan jalan khusus, apakah otomatis penerimaan melonjak tajam? Tidak ada jaminan. Justru sebaliknya, jika harga batu bara dunia turun, penerimaan bisa merosot meskipun jalan baru dibangun.
Sementara itu, ongkos sosial dan ekologis yang ditanggung rakyat jauh lebih besar:
Kerusakan jalan umum akibat angkutan tambang sebelum ada jalan khusus sudah menguras ratusan miliar APBD tiap tahun.
Kesehatan masyarakat terganggu akibat polusi debu batubara: ISPA, asma, hingga kanker paru. Biaya pengobatan ditanggung warga sendiri, bukan perusahaan.
Kerusakan lingkungan: deforestasi, hilangnya lahan produktif, turunnya kualitas air, serta hilangnya jasa ekosistem bernilai triliunan rupiah.
Jika dihitung secara jujur, ongkos sosial dan ekologis bisa menelan lebih dari Rp1 triliun per tahun. Jadi, apa artinya tambahan DBH jika rakyat justru membayar lebih mahal dalam bentuk kesehatan dan lingkungan yang rusak?
Prioritas yang Keliru
Rp4 triliun adalah angka fantastis. Dengan dana sebesar itu, pemerintah bisa membangun:
Ribuan kilometer jalan desa yang membuka akses ekonomi rakyat kecil.
Ratusan unit puskesmas dan sekolah yang langsung meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Investasi energi bersih yang memberi masa depan lebih hijau bagi generasi mendatang.
Sayangnya, yang dipilih adalah jalan tambang. Pilihan ini bukan sekadar salah prioritas, tetapi juga mengukuhkan orientasi pembangunan yang berpihak pada modal, bukan rakyat.
Siapa yang Untung, Siapa yang Rugi?
Jawabannya sederhana: yang untung adalah segilintir pengusaha batu bara yang logistiknya menjadi lebih efisien. Dengan ongkos distribusi lebih murah, laba mereka melejit.
Yang rugi?
Rakyat kecil, karena akses publik tetap terpinggirkan.
Lingkungan hidup, karena jalan tambang membuka ruang eksploitasi baru dan memperparah kerusakan ekosistem.
Pemerintah daerah sendiri, karena harus menanggung biaya sosial jangka panjang yang tidak pernah diperhitungkan dalam studi proyek.
Inilah wajah nyata ekonomi ekstraktif: keuntungan diprivatisasi, kerugian disosialisasikan.
Jebakan Masa Depan
Di saat dunia sedang bergerak menuju transisi energi bersih, Jambi justru mengabadikan infrastruktur batu bara. Ini ibarat menanam bom waktu.
Lima atau sepuluh tahun ke depan, ketika permintaan batu bara anjlok akibat pergeseran ke energi terbarukan, jalan Rp4 triliun itu bisa jadi monumen sia-sia—sebuah jalan raksasa tanpa masa depan, sementara rakyat masih kekurangan fasilitas dasar.
Bukankah lebih bijak mengarahkan investasi ke sektor yang berkelanjutan, seperti energi hijau, pariwisata, pertanian modern, dan pendidikan? Kenapa justru menancapkan fondasi baru bagi sektor yang jelas-jelas akan ditinggalkan dunia?
Transparansi dan Partisipasi Publik
Pertanyaan berikutnya: bagaimana proses perencanaan proyek ini?
Apakah ada konsultasi publik dengan warga yang terdampak langsung?
Apakah izin lingkungan sudah dipenuhi secara transparan?
Apakah mekanisme AMDAL benar-benar independen, atau sekadar formalitas yang diatur untuk meloloskan proyek?
Tanpa partisipasi publik yang nyata, proyek ini hanya akan menjadi rekayasa politik-ekonomi yang menguntungkan segelintir pihak.
Kesimpulan: Jalan Rakyat atau Jalan Oligarki?
Jalan khusus batu bara Rp4 triliun ini bukan solusi, melainkan jalan pintas menuju ketidakadilan. Jika pemerintah sungguh berpihak pada rakyat, dana sebesar itu seharusnya digunakan untuk kepentingan publik yang lebih luas—bukan untuk memperkaya segelintir elit tambang.
Rakyat Jambi berhak bertanya: Kenapa kebutuhan dasar kami selalu dinomorduakan, sementara kepentingan oligarki justru dilayani dengan dana fantastis?
Karena itu, kritik terhadap proyek ini bukan sekadar soal teknis infrastruktur, tetapi menyangkut arah pembangunan daerah: apakah Jambi dibangun untuk rakyat, atau hanya untuk para pemilik modal?
Jawabannya akan menentukan apakah jalan ini akan dikenang sebagai simbol kemajuan, atau justru sebagai jalan tol oligarki yang mengorbankan rakyat kecil.
Opini ini ditulis sebagai refleksi kritis terhadap pembangunan jalan khusus batu bara di Jambi. Segala bentuk keputusan pembangunan seharusnya berpijak pada keberpihakan pada rakyat, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial.