Tidak ada proses perubahan tanpa gejolak. Hal ini kembali terbukti dari dinamika yang kini mencuat di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Jambi, khususnya pada salah satu bidang strategis yang menangani urusan perumahan. Sebuah mosi tak percaya yang digulirkan oleh segelintir staf terhadap kepala bidangnya menjadi perbincangan hangat, bahkan bias saja menghambat keberhasilan program pemerintah yang selama ini berjalan baik dan tepat sasaran. Publik tentu patut bertanya: apakah mosi ini benar-benar berangkat dari kegagalan kinerja pimpinan, atau justru lahir dari ketidaksiapan sebagian staf menghadapi standar kerja baru yang lebih ketat dan akuntabel?
Program Berjalan, Masyarakat Merasakan Manfaat
Kita tidak bisa menutup mata bahwa program perbaikan rumah tidak layak huni (bedah rumah) yang dijalankan oleh bidang ini dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan capaian yang cukup membanggakan. Rumah-rumah milik warga dengan kondisi yang sebelumnya memprihatinkan, kini berdiri layak, kokoh, dan memberikan rasa aman bagi penghuninya. Program ini telah menyentuh masyarakat hingga ke desa-desa terpencil, dan itu tentu bukan hasil dari kerja sambil lalu. Tata kelola program yang sistematis, pengawasan yang ketat, serta ketegasan dalam manajemen waktu dan anggaran menjadi kunci keberhasilannya. Tim pelaksana di bidang ini tampaknya memang diarahkan untuk bekerja cepat, disiplin, dan berorientasi pada hasil. Standar kerja yang diterapkan memang cukup tinggi, dengan tekanan pada integritas dan tanggung jawab penuh terhadap proses serta output pekerjaan. Dalam logika pembangunan, gaya manajemen seperti ini justru dibutuhkan: bekerja cepat, tepat sasaran, dan tidak mengedepankan kenyamanan internal di atas pelayanan publik. Maka menjadi ironi ketika keberhasilan yang dirasakan masyarakat justru dibayangi oleh drama internal dari segelintir pihak yang merasa “tertekan” oleh sistem kerja yang lebih tertib.
Birokrasi Butuh Ketegasan, Bukan Kenyamanan Semu
Mosi tak percaya bukanlah hal tabu dalam sistem demokrasi birokrasi. Namun, esensi dari mosi tersebut seharusnya bertumpu pada substansi kinerja, bukan pada ketidaknyamanan karena adanya perubahan kultur kerja. Jika pimpinan menuntut disiplin waktu, transparansi anggaran, kehadiran lapangan, serta pelaporan berkala dengan akurasi data—apakah itu bentuk tekanan yang tidak wajar, atau justru bagian dari pembenahan birokrasi yang selama ini kita dambakan? Sangat mungkin, reaksi keras dari sebagian kecil staf bukan karena pimpinan bekerja semena-mena, tetapi karena tuntutan kerja yang tidak lagi memberi ruang pada kelambanan dan toleransi terhadap ketidakefisienan. Dalam hal ini, kita perlu jujur: budaya kerja di birokrasi masih banyak diwarnai oleh zona nyaman, di mana kehadiran pemimpin yang serius bekerja kerap dianggap sebagai ancaman.
Publik Harus Berpihak pada Program, Bukan Drama
Dalam konteks pelayanan publik, ukuran keberhasilan sebuah kepemimpinan bukan ditentukan oleh seberapa disukainya ia oleh internal, melainkan sejauh mana masyarakat merasakan dampaknya. Jika masyarakat kini lebih banyak yang memiliki rumah layak, jika anggaran pemerintah benar-benar turun ke lapangan dan dimanfaatkan dengan baik, dan jika program-program perumahan berjalan lebih cepat dan tepat, maka sudah selayaknya hal itu dijadikan tolok ukur. Mosi tak percaya dari segelintir orang tidak bisa dijadikan representasi kegagalan pimpinan. Terlebih jika dilakukan oleh pihak-pihak yang justru kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem kerja baru yang menuntut profesionalisme. Dalam hal ini, keberpihakan publik semestinya diarahkan kepada keberlanjutan program, bukan pada polemik internal yang hanya menghambat laju perubahan.
Momentum Merawat Reformasi dari Dalam
Apa yang terjadi saat ini semestinya menjadi momentum evaluasi dan pembelajaran, bukan justru menjadi celah untuk menjatuhkan kinerja yang sudah terbukti berdampak. Dalam birokrasi, pemimpin yang berani menegakkan disiplin dan integritas tidak selalu disukai. Tapi justru di tangan merekalah reformasi bisa berjalan. Sudah terlalu lama birokrasi kita tenggelam dalam kebiasaan toleransi terhadap kelambanan, minim akuntabilitas, dan rendahnya urgensi terhadap pelayanan publik. Maka ketika ada pemimpin yang mencoba mengubah wajah birokrasi menjadi lebih progresif dan produktif, harusnya ia didukung— bukan dijegal oleh narasi yang dibungkus seolah-olah atas nama keadilan internal.
Penutup: Masyarakat Butuh Hasil, Bukan Drama
Pada akhirnya, publik tidak akan menilai dari cerita-cerita kantor, melainkan dari hasil nyata di lapangan. Jika masyarakat kecil bisa mendapatkan rumah layak berkat kerja keras tim perumahan Dinas PUPR, maka suara mereka lebih penting dari keluhan segelintir pegawai yang merasa kewalahan bekerja sesuai standar baru. Kita semua sepakat, birokrasi harus terus dibenahi. Tapi reformasi itu tidak akan berjalan jika setiap upaya pembenahan selalu dilawan dengan narasi personal. Mari dukung program, bukan drama. Karena yang kita butuhkan sekarang adalah birokrasi yang bekerja, bukan yang baperan. (AR)