Pengamat hukum tata negara Pery Rehendra Sucipta mengatakan pilkada serentak di Indonesia tidak relevan dengan penanganan COVID-19 jika tetap diselenggarakan 9 Desember 2020.
“Tidak ada relevansi pilkada dilaksanakan saat negara menghadapi pandemi COVID-19. Ini tentu tidak sesuai dengan tujuan kita bernegara,” katanya, Minggu (31/5).
Pery yang juga dosen di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang ini mengemukakan tugas negara saat ini adalah menangani permasalahan COVID-19. Permasalahan ini mustahil dapat diselesaikan jika vaksin belum juga ditemukan.
Pilkada, katanya, menambah beban baru karena energi yang terkuras sangat besar, bukan hanya dari tenaga dan waktu, melainkan juga anggaran.
Sementara, menurut dia, negara wajib melindungi rakyat sesuai dengan amanat konstitusi. Kebijakan negara harus mengutamakan keselamatan rakyat sehingga perlu mempertimbangkan secara mendalam, apakah layak pilkada dilaksanakan di tengah pandemi COVID-19.
Kondisi pemerintah pusat dan daerah, kata dia, sampai sekarang terkesan gagap dalam menghadapi pandemi COVID-19. Kondisi itu tercermin dari perubahan kebijakan dalam waktu singkat, yang justru membingungkan rakyat.
Sebagai contoh, ia menyebutkan, kebijakan yang diambil tidak konsisten, seperti pembatasan rumah ibadah dan ruang publik lainnya, namun sekarang terjadi pelonggaran yang dikenal dengan wacana normal baru. Rakyat didesak untuk disiplin, tetapi di Kepri justru ada aktivitas pemerintahan yang tidak menaati protokol kesehatan.
“Hari ini yang membuat rakyat bertahan adalah modal sosial, sementara protokol kesehatan tidak secara keseluruhan dilaksanakan akibat ketidaktegasan dalam mengambil kebijakan,” tuturnya.
Menurut dia, pilkada merupakan kebutuhan ýang dapat ditunda. Penundaan pilkada perlu dilakukan untuk memastikan keselamatan masyarakat, yang menjadi penyelenggara pilkada maupun pemilih.
“Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Apakah negara mau dan mampu menjamin keselamatan rakyat dalam pelaksanaan pilkada?” ucapnya.
Pery yang juga Ketua Laboraturium Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji ini mengatakan rakyat perlu mendapat jaminan keselamatan ketika ikut menyukseskan pilkada. Sementara kondisi rumah sakit, ketersediaan dokter dan perlengkapan medis di Kepri, khususnya, terbatas.
“Jika ingin pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020, maka enam syarat ‘new normal’ harus dipenuhi. Apakah Kepri sudah memenuhi syarat itu? Ini harus dikaji secara matang,” katanya.
Selain Pilkada Kepri, penyelenggara pemilu akan melaksanakan Pilkada Bintan, Karimun, Lingga, Natuna, Batam dan Kepulauan Anambas.
Secara terpisah, seorang pengamat politik menilai keputusan pemerintah untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 2020 ini adalah tepat, mengingat tak ada jaminan di tahun depan pandemi COVID-19 dapat teratasi.
Menurut pengamat politik dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Dr H Budi Suryadi, gelaran pilkada di tengah ancaman wabah COVID-19 memang sesuatu yang tidak bisa dihindari.
“Sekarang fokusnya tentu protokol kesehatan yang wajib dipenuhi. Jangan sampai pilkada jadi buah simalakama, baik untuk keberlangsungan pemerintahan, namun bencana bagi (ada fakta) bertambahnya korban akibat terpapar virus corona,” kata Budi.
Selain seluruh tahapan pilkada yang menerapkan protokol pencegahan COVID-19 yang ketat, Budi juga berharap ada mekanisme yang jelas ketika hari pencoblosan.
“Misalnya alat coblosnya harus sekali pakai, termasuk tinta yang biasa dicelupkan di jari juga diganti polanya. Semua hal-hal itu wajib diperhatikan, selain menjaga jarak, penggunaan masker dan pengecekan suhu tubuh ketika memasuki TPS,” ujar guru besar bidang dosial dan politik ULM itu.
Di sisi lain, Budi menilai pilkada serentak pada masa pandemi dilakukan dalam rangka mengurangi risiko kekacauan dalam pemerintahan daerah yang tentunya akan berimbas pada kekacauan penanganan wabah COVID-19.
Menurut dia, daerah sangat rentan kekacauan penanganan COVID-19 karena kekosongan jabatan kepala daerah jika pilkada harus ditunda hingga tahun depan.
“Kekosongan jabatan kepala daerah ini akan menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan penyelenggaraan pemerintah daerah. Dimana pejabat pengganti atau pelaksana tugas tidak bisa melakukan kebijakan politik yang strategis dan diperlukan,” ujarnya.
Alhasil, ujar dia, kondisi pejabat sementara di jabatan kepala daerah justru bakal sangat berisiko dalam kondisi pandemi, dimana pemerintah daerah tidak bisa menangani wabah secara efektif dan efisien.
“Seperti yang sudah terlihat di beberapa daerah saat ini, pengisian jabatan kepala dinas yang lintas SKPD untuk penanganan wabah COVID-19 hanya pada level pejabat sementara, sehingga kerap menimbulkan ketidakseriusan dalam penanganannya,” kata Budi.
Pesta demokrasi lima tahunan itu akan berlangsung di 270 daerah di Indonesia. Untuk Kalimantan Selatan, pilkada tahun ini digelar di tujuh kabupaten dan kota plus satu Pemilihan Gubernur Kalsel. (Red)